Cyber Law
Cyber Law adalah sebuah istilah yang digunakan untuk merujuk
pada hukum yang tumbuh dalam medium cyberspace, yang ruang lingkupnya meliputi
aspek-aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang
menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai
online dan memasuki dunia cyber atau maya. Bisa diartikan cybercrime itu merupakan
kejahatan dalam dunia internet.Contonhya : Seorang penjahat komputer (cracker)
yang berkebangsaan Indonesia, berada di Australia, mengobrak-abrik server di
Amerika, yang ditempati (hosting) sebuah perusahaan Inggris. Hukum mana yang
akan dipakai untuk mengadili kejahatan cracker tersebut? Contoh kasus yang
mungkin berhubungan adalah adanya hacker Indonesia yang tertangkap di Singapura
karena melakukan cracking terhadap sebuah server perusahaan di Singapura. Dia
diadili dengan hukum Singapura karena kebetulan semuanya berada di Singapura.
Computer Crime Action
Kejahatan dunia maya (cybercrime) adalah istilah yang
mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer
menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke dalam
kejahatan dunia maya antara lain adalah penipuan lelang secara online,
pemalsuan cek, penipuan kartu kredit, confidence fraud, penipuan identitas,
pornografi anak, dll.Contohnya : Penipuan. Kejahatan yang sekarang lagi marak
di dunia maya, adalah penipuan. penipuan dalam bentuk transaksi jual beli
barang dan jasa. modus operandi penipu online ini pun dilakukan dengan berbagai
cara, ada yang menjual melalui milis, melalui forum, melalui mini iklan,
text-ad. dengan mengaku berada di kota yang berbeda dengan calon mangsanya,
mereka memancing kelemahan dari para calon 'pembeli' yang tidak sadar mereka
sudah terjebak. Modus : Orang yang melakukan transaksi pembelian gadget dengan
seseorang yang dikenal melalui milis tersebut dan ternyata setelah pembayaran
(transfer) dilakukan, barang yang datang ternyata bukan gadget yang dimaksud,
ternyata paketnya berisi lembaran brosur paket investasi.
Council of Europe Convention on Cyber crime
Suatu organisasi internasional yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan mengadopsikan aturan
yang tepat dan untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam mewujudkan hal
ini. Saat ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime.
Contohnya : organisasi Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the
Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah
mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya, yang
menurut Prof. Susan Brenner dari University of Daytona School of Law, merupakan
perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek
proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan
penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Jadi menurut saya perbandingan dari ketiganya yaitu cyber
law merupakan seperangkat aturan tertulis yang dibuat negara untuk menjamin
aktivitas warganya di dunia maya, sanksinya dapat berupa hukuman, pelarangan
dan lain-lain. Dalam kenyataannya cyber ethics dapat menjadi suatu alternatif
dalam mengatur dunia cyber, meskipun tidak menutup kemungkinan cyber ethics
menjadi cyber law, hal ini tentu berulang kepada kita sendiri. Sedangkan
Computer crime act adalah undang-undangnya, dan Council of europe convention on
cyber crime merupakan salah satu organisasinya.
PERATURAN
DAN REGULASI
UU
NO 36 Tentang Telekomunikasi
Ketentuan Umum
Pada undang-undang no 36 tentang telekomunikasi, terdapat
pada BAB I dan Pasal 1. Pada bagian ini
terdapat pengertian mengenai telekomunikasi, telekomunikasi adalah setiap
pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk
tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat,
optik, radio, atau sistem elektromagnetik Iainnya.(ayat1)
Pada bagian ini juga dijelaskan mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan telekomunikasi seperti alat telekomunikasi, perangkat
telekomunikasi, serta sarana dan prasarana telekomunikasi. Dalam undang-undang
ini disebutkan bahwa pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan
dan memancarkan gelombang radio.Dalam telekomunikasi dibutuhkan jaringan
telekomunikasi yaitu rangkaian perangkat
telekomunikasi dan kelengkapannya yang
digunakan dalam bertelekomunikasi.(ayat 2-5)
Untuk dapat melakukan telekomunikasi dengan baik dan lancar
maka dibutuhkan beberapa pihak, dalam undang-undang ini dijelaskan pihak-pihak
tersebut yaitu jasa telekomunikasi;
penyelenggara telekomunikasi yang dapat terdiri dari perseorangan, koperasi,
badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta,
instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;
pelanggan;pemakai; pengguna(ayat7-11); serta menteri adalah Menteri yang ruang
Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.(ayat 17).
Azas dan Tujuan Telekomunikasi
Hal ini diatur dalam undang-undang no 36 BAB II pada pasal 2
dan pasal 3. Untuk azas telekomunikasi
diatur di pasal 2 sedangkan untuk tujuan telekomunikasi diatur di pasal 3.
Pasal
2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat,
adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan
pada diri sendiri.
Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi
khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil
guna. Asas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi
memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi
syarat dan hasil- hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya
penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan
perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan
hukum. Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan
secara maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan
teknologi telekomunikasi, sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan
mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan
global. Asas kemitraanmengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi
harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi, dalam
penyelenggaraan telekomunikasi. Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan
telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan,
pembangunan, dan pengoperasiannya. Asas etika dimaksudkan agar dalam
penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat
profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.
Pasal
3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung
persatuan dan kesatuan bangsa,
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,
mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan
hubungan antarbangsa.
Penyelenggaraan Telekomunikasi
Hal ini diatur dalam undang-undang no 36 pada BAB IV pada
pasal7, pasal 8, dan pasal 9.
Pasal 7 : Pada pasal ini menjelasakan mengenai
penyelenggaraan telekomunikasi secara umum. Penyelenggaraan telekomunikasi
meliputi : penyelenggaraan jaringan telekomunikasi; penyelenggaraan jasa
telekomunikasi; penyelenggaraan telekomunikasi khusus. Adapula yang harus
diperhatikan dalam penyelenggaraan telekomunikasi seperti melindungi
kepentingan dan keamanan negara; mengantisipasi perkembangan teknologi dan
tuntutan global; dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
peran serta masyarakat.
Pasal 8 & 9: Pada pasal ini menjelaskan tentang
penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh badan hukum yang didirikan
oleh peraturan perundang-undangan seperti BUMN, BUMD, dll dapat
menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
Pada pasal ini juga dijelaskan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi
khusus yang dapat dilakukan oleh perseoranga, instansi pemerintah, badan hukum
selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi. Penyelenggara telekomunikasi khusus dapat menyelenggarakan
telekomunikasi untuk : keperluan sendiri,
keperluan pertahanan keamanan negara, keperluan penyiaran. Ketentuan
mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Penyidikan
Hal ini diatur dalam undang-undang no 36 BAB V pada Pasal 44
yaitu
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Iingkungan Departemen
yang Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum
Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang :
- melakukan pemeriksaan atas kebenaran Iaporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
- memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
- melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan .
- mengadakan penghentian penyidik
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diiaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana
Sanksi Administrasi
Hal ini diatur dalam undang-undang no 36 BAB VI pada pasal
45 & 46. Ada dua belas ketentuan
dalam undang-undang ini yang dapat dikenai sanksi administratif berupa
pencabutan izin, yang dilakukan setelah diberi peringatan tertulis(pasal46).
Pengenaan sanksi adminsitrasi dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya
pemerintah dalam rangka pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan
telekomunikasi. Keduabelas alasan yang dapat dikenai sanksi administratif itu
adalah terhadap:(pasal 45)
- setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak memberikan kontribusi dalam pelayanan
- penyelenggara telekomunikasi tidak memberikan catatan atau rekaman yang diperlukan pengguna
- penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunkasi;
- penyelenggara telekomunikasi yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum;
- penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya;
- penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosesntase pendapatan;
- penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri dan keperluan pertahanan keamanan negara yang menyambungkan telekomunikasinya ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya;
- penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran yang menyambungkan telekomunikasinya ke penyelenggara telekomunikasi lainnya tetapi tidak digunakan untuk keperluan penyiaran;
- pengguna spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang tidak mendapat izin dari Pemerintah;
- pengguna spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan yang saling menggaggu.
- pengguna spektrum frekuensi radio yang tidak membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi;
- pengguna orbit satelit yang tidak membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
Ketentuan Pidana
Hal ini diatur dalam undang-undang no 36 BAB VII pada pasal
47-59.
Pasal
47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1),dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau
denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal
49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Pasal
50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
51
Penyelenggara komunikasi khusus yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1 ataau Pasal 29 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal
52
Barang siapa memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau
menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang
tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal
53
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan penjara pidana
paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun.
Pasal
54
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 Ayat (2),dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua raatus
juta rupiah).
Pasal
55
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40,dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.
Pasal
57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1),dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
Pasal
58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 52,atau Pasal
56 dirampas oleh negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
59
Perbuataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal
48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal 51,Pasal 52,Pasal 53,Pasal 54,Pasal 55,Pasal 56, dan
Pasal 57 adalah kejahatan.
Peraturan
dan Regulasi
1. UU No.19 HAKI
Hak cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi
tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu
ciptaan”. Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk
membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak
cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan
intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan
intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas
penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk
melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup
ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup
gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau
terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang berkaitan
dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan
salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu
ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni
lain mengenai tokoh tikus secara umum.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang
Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.
Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah “hak eksklusif bagi
pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 butir 1).
2. UU No.36 Telekomunikasi
Ada beberapa kasus mengenai fenomena media konvergensi di
Indonesia, sebut saja Liputan 6 online, Kompas online dan radio streaming. Dari
beberapa contoh yang saya sebut ada satu hal yang menurut saya sangat menarik,
yaitu kasus radio Suara Surabaya. Sedikit perkenalan, radi ini merupakan radio
lokal yang siarannya dapat diakses dan di unduh secara real time dan online.
Seperti yang telah saya terangkan sebagai contoh diatas
bahwa Suara Surabaya mengalami sebuah fenomena yang beranjak dari sebuah radio
lokal menuju pada sebuah radio global. Perubahan ini tentu saja sudah tidak
dapat lagi dapat diikat oleh regulasi penyiaran yang ada. Radio Suara Surabaya
sudah mulai bergeser pada teknologi digital dengan sifatnya yang global dan
otomatis regulasi yang ada sudah tidak dapat lagi mengikutinya, apalagi
terbentur dengan kebijakan global.
Media TV juga sudah menerapkan hal serupa dimana teknologi
digital akan membawa pada sebuah fenomena penyiaran digital yang memudahkan
media tersebut diakses. Saya dapat mencontohkan bahwa Nokia sudah mengantisipasi
hal ini dengan mengeluarkan tipe mobile phone dengan reciever sinyal televisi
yang menggunakan freqwensi DVB-H, sehingga siaran televisi digital dapat
diakses secara instant, dan hal ini sudah dimulai 3 tahun lalu ketika Nokia
merilis seri N92 dengan menggandeng RCTI dan SCTV sebagai pioneer di bidang
DVB-H broadcast. Disini dapat dicontohkan bagaimana seluler yang sifatnya
sangat personal dapt dikonvergensikan dengan media televisi yang sifatnya
publik.
Keadaan ini pada dasarnya sedang berusaha diikuti pemerintah
dengan berbagai macam langkah dalam mengeluarkan regulasi dan undang-undang
penyiaran, namun hal tersebut tidaklah cukup memadai dalam mengikuti pergeseran
teknologi yang diikuti oleh pergeseran media. Namun masalah selalu hadir
kembali disaat teknlogi informasi dan komunikasi baru hadir kembali. Secara
sederhana dapat saya contohkan dengan peraturan telekomunikasi WCDMA dan HSDPA
(3G dan 3,5G) yang ada sekarang tidak akan dapat mengikuti teknologi yang akan
datang di kemudian hari seperti hadirnya WiMax yang mempunyai scope
interaktifitas yang lebih luas dan lebih cepat. WiMax memberikan sebuah
kesempatan pada khalayak untuk terkoneksi secara global dan masif, dan secara
konsep meniadakan batasan dan jangkauan. Inilah yang sebenarnya memerlukan sebuah
regulasi khusus mengatur berkaitan dengan kebebasan dan akses publik terhadap
media konvergensi.
Baik media yang bersifat personal maupun publik mengalami
pergeseran teknologi sehingga memaksa pemerintah harus selalu menyusun ulang
regulasi. Pemerintah dalam beberapa hal juga sudah menetapkan regulasi-regulasi
baru di bidang penyiaran, sebut saja UU no. 32 / 2002 yang mengatur regulasi
penyiaran di Indonesia namun pada saat itu ditetapkan teknologi digital belum
berkembang seperti pada saat ini, apalagi di saat dimana RUU-nya disusun. UU
No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran:
Bahwa penyiaran TV dan radio harus memiliki IPP (pasal 33
ayat 1).
Lembaga Penyiaran Swasta hanya dapat menyelenggarakan 1
siaran dengan 1 saluran siaran pada 1 Cakupan wilayah siaran (pasal 20)
sehingga tidak relevan lagi pada era penyiaran digital karena penyiaran digital
sifatnya adalah banyak siaran pada 1 saluran siaran di 1 cakupan wilayah
siaran.
Terdapat juga UU no. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
yang mengatur: setiap penyelenggaraan pelekomunikasi harus mendapatkan izin
dari pemerintah (pasal 11) dan salah satu bentuk penyelenggaraan telekomunikasi
adalah penyelenggaraan jaringan telekomunikasi (pasal 7). UU ini bahkan sama
sekali tidak menyentuh penyiaran dengan lebih jauh sehingga sudah sangat tidak
relevan dan efisien dalam penggunaanya, namun ada satu hal menarik dalam UU ini
adalah peraturan penyelenggaraan jaringan tertutup yang akan ditur kemudian
pada pasal 33 KM 20 / 2001. Sepertinya regulasi mengenai pengadaan
infrastruktur tetap masih akan berpatokan pada UU no. 36 / 1999 ini.
Pemerintah juga memutuskan dan
melakukan sebuah tindakan dengan menyusun dan disahkannya Undang undang
Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh DPR tanggal 25 Maret 2008 oleh DPR
mengenai aturan-aturan yang berkaitan dengan keberadaan Internet yang menurut
saya hanya bisa mengikat kasus-kasus yang terkait pada teknologi web 1.0 dan
bukan pada penerusnya web 2.0.
Melihat hal ini kita seharusnya sadar bahwa regulasi
penyiaran tahun 2002 sudah mulai dipertanyakan keefektifannya dan sudah saatnya
menyusun sebuah rencana baru untuk pengaturan penyiaran di Indonesia. Hal
tersebut mengingat bahwa UU no. 32 / 2002:
Tidak membicarakan adanya antisipasi perpindahan sistem
analog kepada sistem digital. Pada prakteknya saat ini hampir semua perangkat
mulai mendukung dan menggunakan fasilitas digital.
Tidak tertuang bagaimana media dapat berkonvergensi dengan
teknologi telekomunikasi yang memungkinkan adanya feedback dan partisipasi
langsung.
Media konvergensi menawarkan dan melakukan semua yang belum
bisa dilakukan media konvensional. (dalam konteks media massa).
Pada kenyataanya pemerintah juga tidak menutup mata tentang
hal ini. Langkah pemerintah yang paling tidak saat ini mulai terlihat adalah
dengan mulai menyusun peraturan dan regulasi untuk media TV digital dengan
adanya Kepmen no.7 21 Maret 2007 yang berisi penetapan DVB-T sebagai standar
penyiaran nasional (DVB-T ini juga sistim yang dipakai di Eropa)
3. UU Informasi dan Transaksi Elektronik
Ada banyak tantangan, regulasi, dan kebijakan pemerintah
yang harus segera dilaksanakan untuk menunjang keberhasilan masyarakat
informasi di Indonesia, sekaligus memperkecil tingkat kesenjangan digital.
Pemerintah dibantu Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), dalam hal
ini adalah sebagai motor utama, penggerak, dan motivator pemberdayaan
masyarakat agar sadar akan teknologi.
Pembenahan infrastuktur teknologi informasi dan komunikasi,
pembuatan program untuk masyarakat informasi secara berkala, penentuan regulasi
dan kebijakan, serta penyediaan fasilitas untuk mendukung keseluruhan sistem
ini perlu didiskusikan secara matang oleh berbagai pihak. Tidak hanya antar
instansi, tetapi juga mengajak berbagai sekolah, universitas, dan elemen masyarakat
untuk turut aktif membantu program-program pemerintah yang bersifat
sosialisasi.
Dalam kaitannya dengan pembenahan infrastruktur, pemerintah
harus mempersiapkan prioritas dan kebutuhan masyarakat di berbagai daerah. Hal
ini untuk menghindari pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran.
Misalnya pemerintah menggali berbagai informasi melalui survei-survei yang
dilakukan secara periodik tentang keberadaan jaringan informasi dan
telekomunikasi.
Pada kenyataannya masih banyak daerah pelosok, pinggiran,
maupun perbatasan yang belum terjangkau oleh jaringan listrik, jaringan telepon
(BTS dan kabel telepon), serta internet. Selain itu, juga perlu dilakukan
penelitian mengenai kondisi sosial, budaya, dan pendidikan masyarakat setempat
untuk mengetahui tingkat antusiasme dan kesadaran masyarakat, sehingga dapat
dibedakan mana kelompok masyarakat yang sudah siap dan belum siap.
Beberapa waktu yang lalu pemerintah telah membuat beberapa
program yang sudah dijalankan dan cukup bisa mendukung terwujudnya masyarakat
informasi. Misalnya dengan pembangunan sehari satu juta sambungan listrik yang
dilakukan PLN ketika memperingati Hari Listrik Nasional. Kemudian beberapa hari
yang lalu Menkominfo, Tifatul Sembiring, juga baru saja meresmikan 14 desa
berdering yang terletak di berbagai daerah perbatasan. Yang tidak kalah hebat
yaitu peluncuran M-CAP (Mobile Community Access Point) atau dikenal dengan
mobil warnet keliling oleh Depkominfo. Jika kegiatan semacam ini giat dilakukan
dan berkelanjutan, serta benar-benar diterapkan, maka sedikit demi sedikit
target pencapaian pemerintah akan semakin dekat.
Depkominfo sendiri telah menetapkan beberapa tahapan
pencapaian untuk menuju masyarakat informasi Indonesia yang meliputi sbb :
Desa
Perintis (2005) : Pada tahap ini sebagian besar desa belum terhubung dengan
fasilitas telekomunikasi. Jumlah desa yang terhubung dengan fasilitas
telekomunikasi masih dibawah 50 persen dari jumlah total desa di Indonesia.
Desa
Berdering Terpadu (2010) : Pada tahap ini telepon dasar sudah tersedia di
seluruh desa di Indonesia dengan jumlah sambungan minimal satu satuan sambungan
telepon (sst). Layanan yang disediakan pada tahap ini masih terbatas pada
layanan komunikasi suara.
Desa
Online (2015) : Pada tahap ini diharapkan ada peningkatan kualitas dan
kuantitas layanan hingga 10 sst untuk 1 desa, dilanjutkan dengan penyediaan
barang akses internet.
Desa
Multimedia (2020) : Pada tahap ini diharapkan pemanfaatan TIK sudah menjadi
kebutuhan masyarakat desa dalam aktifitas sehari-hari dan menjadikan TIK
sebagai sarana untuk meningkatkan kegiatan perekonomian di desa. Dengan adanya
pemahaman yang baik terhadap TIK diharapkan akan menumbuhkan akses informasi
baik telepon dan internet. Selain itu, perlu menyediaan konten yang berkelanjutan
sehingga desa tersebut menjadi bagian dari komunitas informasi dunia.
Masyarakat
Informasi (2025) : Hampir 50 persen penduduk Indonesia mempunyai akses
informasi sesuai dengan yang diinginkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Pemaksimalan teknologi informasi hingga ke pelosok pedesaan melalui layanan
e-economy dan e-health diharapkan dapat diterapkan.
Seiring dengan pertumbuhan dunia teknologi, terutama yang
berhubungan dengan ketersediaan konten informasi, maka pemerintah mau tidak mau
juga harus mulai merancang berbagai dasar regulasi dan kebijakan. Sebagai
contoh yaitu tentang bagaimana mendidik masyarakat agar selalu membiasakan diri
menggunakan konten yang sifatnya edukatif. Atau melindungi setiap individu
pengguna media informasi dari hal-hal seperti kejahatan digital, perlindungan
privasi, serta hak kebebasan untuk berpendapat.
Pemerintah sendiri telah mengesahkan Undang Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun 2008 yang lalu. Hadirnya Rancangan
Peraturan Menteri Konten Multimedia (RPM Konten) beberapa waktu yang lalu juga
turut mengundang banyak pertanyaan yang justru merugikan banyak pihak. Di balik
hal-hal yang sifatnya kontroversial terkait penyusunan suatu regulasi,
hendaknya segera ditindaklanjuti dengan para pelakunya. Perlu diingat bahwa
suatu saat nanti juga diperlukan pengkajian ulang dan pembaharuan regulasi yang
pernah dibuat, karena perkembangan informasi dan telekomunikasi berlangsung
begitu cepat dan berubah-ubah sesuai zamannya.
Referensi :